11 Desember 2019

Disclosure

11.12.19 0 Comments

Blog ini adalah blog pribadi yang ditulis dan dikelola oleh Fitria Rahma. Blog ini berisi kumpulan cerita fiksi, baik dalam bentuk cerita pendek, cerita mini, maupun cerita bersambung. Selain itu, blog ini juga berisi review novel dan beberapa tulisan yang berkaitan dengan fiksi. Penulis blog ini membuka kerjasama dengan penerbit atau perorangan, baik dalam bentuk promosi novel maupun info giveaway atau lomba yang berkaitan dengan fiksi. Untuk penawaran kerjasama, dapat mengirimkan surel ke fithriyahrahmawati(dot)fima(at)gmail(dot)com.

About Me

11.12.19 0 Comments

Saya Fitria Rahma, lahir dan besar di Lamongan, Jawa Timur. Menjahit, mendesain baju, dan menulis fiksi adalah kegiatan yang sangat saya sukai saat ini. Saya sangat menyukai dunia menjahit sejak masuk kelas Tata Busana di MAN Lamongan tahun 2004. Setelah menamatkan pendidikan sarjana di Jurusan Matematika Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya tahun 2012, saya meneruskan belajar menjahit di Arva School of Fashion Surabaya pada program Islamic Fashion Design tahun 2015 dan Digital Fashion Illustration tahun 2018.



Saat ini saya bekerja sebagai freelance sewing crafter, freelance editor, dan freelance fashion illustrator. Di sela waktu bekerja, saya menyempatkan menulis cerita fiksi berdasarkan apa yang pernah saya amati, alami, atau khayalkan.

Momen kecil yang saya lalui di kelas Tata Busana, menjadikan novel berjudul POMPIN: Menjahit Potongan Pola-Pola Mimpi Bersamamu pun lahir. Novel itu pun terbit pada tahun 2017 dan diterbitkan oleh Penerbit Loka Media.

Sejak cerpen saya berjudul “Untukmu Ibu” mendapatkan juara ketiga lomba cerpen muslimah yang diadakan oleh keputrian JMMI ITS Surabaya tahun 2010, membuat saya semakin ingin berkarya dalam bidang menulis. POMPIN adalah novel pertama yang berhasil saya selesaikan dan terbit. Saat ini saya sedang menggarap novel kedua berjudul Tenunia dan bisa dibaca di aplikasi playstore Mangatoon/Noveltoon

Jika ingin berinteraksi dengan saya, bisa mengirimkan surel ke fithriyahrahmawati(dot)fima(at)gmail(dot)com.

Untukmu Ibu

11.12.19 0 Comments

Teriakan petir bergemuruh. Kilat saling berkejar-kejaran. Air mata langit mulai mengalir deras. Matahari terselimuti awan mendung. Sepanjang hari hujan mengguyur jalan ARH dan sekitarnya. Tak banyak aktivitas yang dilakukan di saat seperti ini. Hanya menatap jalan yang tampak sepi dari jendela kamar. Jalanan yang biasanya dipenuhi kendaraan bermotor kini tampak lengang. Hampir tak ada satu pun kendaraan yang melintas. Sepi dan sunyi. Keadaan yang tak semestinya terjadi. Hanya terdengar rintihan air hujan dan suara petir yang menakutkan. 

Masih terdengar rintihan hujan. Hampir setiap hari selalu terdengar rintihan itu. Kadang rintihan itu begitu memilukan dan menyanyat hati, membuat mereka yang mendengar merasa ketakutan. Rintihan yang diiringgi dengan petir dan kilat membuat hati menjadi kerdil. Kadang juga rintihan itu dapat membuat diri hanyut terbawa kesejukan alam, rasa kantuk akan kembali beraktivitas.

Tatapan kosong masih mengarah ke jalanan. Terlihat beberapa anak kecil berlarian, menyusuri gang-gang kecil di sana. Mereka saling berteriak satu sama lain. Bercanda dengan sahabat karib. Raut wajah mereka memancarkan kegembiaraan yang begitu dalam. Tak ada beban yang ditanggung. Bebas dan lepas. Mudah sekali melakukan apa yang mereka suka. Tak ada yang bisa melarang mereka. Kesenangan dan kegembiraan selalu tersenyum pada mereka, anak-anak kecil tanpa dosa.

Sekelebat bayangan itu muncul kembali. Bayangan sosok wanita paruh baya yang selalu mengganggu pikiran. Sosok itu selalu tersenyum padaku. Senyum hangat yang mengingatkanku pada kampung halaman. Asri dan nyaman sekali berada di sana. Tanpa polusi dan macet. Udara yang bersih masih dapat ditemukan, dihirup dalam-dalam, dihembuskan sambil melepas penat karena kesibukan diri. Gemercik air masih terdengar bebas. Alunan melodinya sangat merdu. Hati gundah gulana dapat terobati karenanya. Kampung halaman yang kurindukan.

Sudah 3 tahun, aku meninggalkan rumah dan ibuku. Hanya untuk mencari gelar sarjana pendidikan. Tak bisa kupungkiri bahwa aku pergi ke sini hanya untuk menuruti keinginan ibuku. Itu awal dari tujuanku ke sini. Ibu ingin sekali mewujudkan cita-citanya, menjadi seorang guru. Namun, hal itu tak pernah tercapai. Lagi-lagi faktor biaya yang menjadi alasan utama. Alasan seseorang tidak bisa melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Sungguh sangat ironi. Gara-gara uang, impian yang telah lama dibangun hancur begitu saja. Ini tak terjadi pada ibuku. Mimpi ibu untuk menjadi seorang guru semakin kuat. Walaupun ibu tak dapat menjadi guru dalam artian yang sesungguhnya. Ibu tetap menjadi guru bagi anak-anaknya. Guru terbaik yang pernah aku dapatkan.

Ibu selalu ada untukku. Setiap menit, setiap detik, setiap saat ibu selalu di sampingku saat gundah dan bahagia menyelimuti hatiku. Perhatian dan kasih sayangnya tak pernah padam semenjak aku masih berada dalam kandungan sampai saat ini. Walaupun jarak memisahkan kita, belaian kasih sayangnya masih kurasakan, detak jantungnya masih kudengarkan.  Ibu adalah nafas bagiku. Tak ada ibu. Aku pun tak akan pernah ada. 

Tik tik tik. Bunyi hujan masih terdengar. Kutatap jalanan yang tergenang air hujan. Dalam anganku, terlukis bayangan seorang wanita paruh baya tersenyum manis padaku. Raut wajahnya bersinar, matanya yang teduh tampak bercahaya, memancarkan rasa kebahagiaan yang tak ternilai harganya. Anak semata wayangnya telah diterima di sebuah PTN terkemuka. Ia juga diterima di jurusan yang selalu didambakan ibunya. Kelak ia akan berdiri di depan anak-anak yang telah dititipkan oleh orang tua mereka untuk mendapatkan sentuhan ilmu dan budi pekerti.

Di malam kelulusanku dan terakhir mengenakan seragam putih abu-abu, ibu datang padaku. Ibu menanyakan ke mana arah hidupku akan tertuju. Lalu, aku menceritakan semua mimpi-mimpi yang telah aku bangun sejak pertama kali aku tak akan pernah bertemu ayah lagi. Aku ingin menjadi seorang dokter dan memiliki sebuah rumah sakit. Aku ingin mengabdikan diriku pada masyarakat yang kurang beruntung seperti diriku. Aku ingin anak-anak mereka tak seperti diriku. Kehilangan sosok ayah.

Ketika itu, ayah mengalami kecelakaan. Keadaannya sangat parah. Dokter mengatakan bahwa ayah harus segera dioperasi. Lagi-lagi uang. Kami tak punya uang sesen pun untuk membiayai operasi ayah. Ibu berusaha meminta keringanan kepada pihak rumah sakit. Namun, mereka hanya berkata, “Maaf, kami hanya menjalani prosedur. Kami bisa manjalankan operasi jika setengah dari biaya operasi terbayar”. Apakah prosedur lebih penting dari pada nyawa? Entah apa yang dipikirkan mereka.

Aku tak bisa berbuat apa-apa untuk ayah. Yang kulakukan hanya duduk terpaku melihat ibu pontang panting mencarikan pinjaman uang untuk biaya operasi ayah. Gadis berusia 13 tahun ini hanya bisa mendoakan ayah, memohon kepada Allah untuk menyembuhkan ayah dan menolong ibu. Setelah bersusah payah mencari uang ke sana ke mari, akhirnya ibu mendapatkannya juga. Tapi, usaha ibu tak bisa menolong ayah. Saat ibu mengurus segalanya. Ayah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Mendengar hal itu, ibu tak sadarkan diri. Tapi, ibu bisa menguasai keadaannya. Kami hanya bisa pasrah dan menyerahkan semuanya ke Allah, Sang Pencipta. Inilah jalan yang harus kami lewati.

Uang telah membuat aku kehilangan ayah dan tak akan pernah bertemu dengan ayah lagi. Hanya foto yang bisa kupandang jikalau rindu kembali datang. Sejak itu, aku bertekad untuk mengubah semuanya. Prosedur-prosedur yang tak memihak kepada rakyat kecil.
   
Aku bukanlah orang yang mudah menolak permintaan orang apalagi ini adalah permintaan ibu. Ibu kandungku sendiri. Bukan orang lain. Sebenarnya bukanlah sebuah permintaan melainkan hanya sebuah harapan seorang ibu kepada anaknya. Melihat air muka ibu berubah. Hatiku luluh. Hatiku pun hancur beserta hancurnya bangunan mimpi-mimpi itu. Aku harus bisa melakukan itu, memenuhi harapan ibu untuk menjadi seorang guru. Walaupun kutahu ibu tak pernah memaksaku untuk melakukannya.

02.50. Aku terjaga dari tidurku. Seperti biasanya, aku pergi ke kamar mandi, mengambil air wudhu. Kemudian bersujud, memohon ampun atas semua dosa-dosa yang pernah kulakukan, bersyukur atas semua nikmatNya yang kuterima selama nyawa masih bersama jasad. Ini yang selalu diajarkan ibu kepadaku. Bangun tengah malam. Mengerjakan sholat dua rakaat.

Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. (Al Israa’:79)

Tatkala aku akan menuju ke kamarku, aku mendengar tangisan. Tangisan siapa itu? Itu terdengar dari kamar ibu. Kubuka pelan-pelan kamar itu. Dengan balutan kain putih yang selalu dipakainya untuk sholat, kulihat ibu bermunajat kapada Allah. Ibu mendoakan diriku, mendoakan ayah juga, memohon pengampunan keluarga kami. Dengan linangan air mata, ibu memohon kepada Allah agar apa yang kuinginkan tercapai, ridho dengan keputusan yang kuambil selama masih di jalur yang benar dan lurus. Aku tak kuasa melihat lelehan air mata ibu. Air mata yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Walaupun di saat maut menjemput ayah. Ibu terlihat tegar. Ibu tak pernah berbagi kesedihan pada orang lain apalagi dengan diriku.

Ibu, aku akan menjadi seperti yang engkau inginkan. Surga ada di telapak kakimu. Ridhomu dekat sekali dengan ridho Allah. 

Hari keberangkatanku semakin dekat. Semua persiapan sudah selesai. Tinggal menunggu waktu keberangkatan. Daftar-daftar perlengkapan yang harus aku bawa sudah tidak ada lagi. Ibu mendekat padaku, duduk di sisi ranjangku. Sementara aku menyiapkan pakaian untuk kukenakan besok.

“Ibu, hanya bisa mendoakanmu. Ibu tak bisa memberimu apa-apa. Ibu tak punya apapun untuk kau jadikan bekal”
“Ibu....”
“Ibu hanya berpesan. Jangan melupakan sholat wajib dan sholat-sholat sunnah yang sering kau lakukan di rumah. Tetaplah tersenyum bagaimanapun keadaannya. Wanita itu sosok yang kuat jika ia tak menganggap dirinya lemah”
“Ibu... pesan ibu adalah bekal hidupku. Doamu adalah kekuatanku. Kasih sayangmu adalah nafas bagiku.”

Kupeluk ibu erat-erat. Linangan air mata kembali berurai. Ini adalah hari terakhirku bisa memeluk bunda. Besok, besok, dan besok aku tak bisa sesering ini memeluk ibu. Pelukan yang hangat. Dan pelukan penyemangat hidupku.

Kenangan yang telah lama kusimpan membuat diriku kembali ke masa itu. Tak kusadari pipiku telah basah karena air mata. Air mata sedih, air mata bahagia, dan air mata kerinduan. Rindu pelukannya, belaiannya yang hangat. Raut wajah ibu masih tersimpan dalam ingatanku. Aku tak akan pernah bisa melupakan ibu.

Ayesha Halimah. Semoga aku bisa menjadi perempuan yang baik, penyabar, lembut, seperti doa ibu pada namaku.

Allahu Akbar. Allahu Akbar. Berkumandang adzan. Waktu maghrib telah tiba. Aku bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim.

Robbighfir lii wa li waalidayya warhamhumaa kamaa robbayaanii shoghiiroo. Ya Allah. Ampunilah aku, ibu bapakku dan kasihilah keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil. Amin.



Cerpen ini saya tulis untuk diikutsertakan dalam lomba cerpen muslimah dengan tema "Be A Great Woman for A Bright Future" dalam rangkaian kegiatan Muslimah's Parade tahun 2010 dan mendapatkan apresiasi dari keputrian JMMI ITS Surabaya sebagai juara 3.

19 November 2019

Kotak Ajaib Pembuka Rahasia

19.11.19 0 Comments

Matahari bersinar cerah, secerah hati Ita, Feni, Devi, Eva dan Acha. Mereka telah siap untuk melakukan perjalanan pagi ini. Rencana berlibur ke desa akan terwujud. Hari ini mereka pergi ke rumah paman Ahmad, pamannya Ita yang tingggal di desa.

“Hari ini cerah sekali. Aku tidak mau tidur dalam perjalanan. Aku ingin melihat pohon-pohon di sepanjang jalan,” kata Acha sambil memainkan liontin pada kalungnya.

“Apa semuanya sudah siap?” tanya pak Yanto.

“Siap,” jawab anak-anak itu serempak, mirip pasukan Tentara Nasional Indonesia.

“Ayo, teman-teman, kita masuk ke mobil!” ajak Ita.

Canda dan tawa kelima anak itu membuat perjalanan selama 3 jam tidak terasa.

“Wah, udaranya sangat sejuk,” ucap Devi sambil menghirup udara dalam-dalam, merasakan kesejukan udara di desa.

“Pemandangannya juga keren,” timpal Feni sambil sesekali memotret.

“Anak-anak, kita sudah sampai di desa paman Ahmad,” kata pak Yanto sambil mematikan mesin mobil.

“Kalian baik-baik, ya, di sini dan hati-hati. Ingat pesan bapak....”

“Manfaatkan waktu untuk mencari ilmu,” sahut kelima anak-anak itu serempak. Mereka sudah hafal pesan pak Yanto, sopir yang setia menemani mereka setiap kali berlibur.

Paman Ahmad menyambut kedatangan anak-anak itu dengan ramah.

“Selamat datang di desa paman. Semoga kalian betah berada di sini,” sambut paman Ahmad.

“Terima kasih, Paman. Ita diizinkan berlibur bersama teman-teman di sini.”

“Pak Ahmad, saya pulang dulu dan titip anak-anak,” pamit pak Yanto sambil berjabat tangan dengan paman Ahmad. Pak Yanto kembali ke mobil.

Anak-anak dan paman Ahmad melambaikan tangan ke arah mobil yang berjalan meninggalkan desa. Lalu pak Ahmad mengajak kelima anak itu memasuki rumah yang terlihat sederhana dan jauh dari kesan mewah.

Malam harinya, Ita, Feni, Devi, Eva, dan Acha pergi ke rumah paman Oman. Beliau adalah tetangga paman Ahmad yang suka bercerita. Malam ini, beliau menceritakan tentang pengalamannya ketika masih kecil. Paman Oman tumbuh dan besar bersama kakeknya yang bekerja sebagai dokter. Ketika beliau berumur 10 tahun, kakeknya menitipkan sebuah kotak.

“Man, ini ada kotak. Kamu simpan baik-baik dan kasihkan kotak ini pada pemiliknya. Kotak ini dapat dibuka oleh pemiliknya saja.”

“Ya, Kek. Tapi, siapa pemilik kotak ini, Kek?”

Belum sempat memberi tahu paman Oman, kakeknya menghembuskan nafas yang terakhir. Sampai saat ini kotak itu masih tertutup rapat dan tidak seorang pun bisa membuka kotak itu.

“Ini kotaknya,” kata paman Oman sambil menyerahkan sebuah kotak kepada anak-anak.

Kelima anak-anak itu secara bergantian mencoba membukanya. Tetapi, kotak itu tetap tidak bisa dibuka.

 “Ah, kenapa tidak bisa dibuka. Padahal aku ingin tahu isi kotak itu,” keluh Devi.

Anak-anak itu mulai berpikir keras. Mereka mengamati kotak itu dengan teliti.

“Berhubung sudah larut malam, kalian tidur dulu. Besok kita pikirkan lagi, cara membuka kotak itu.”

“Kalian bisa menggunakan kamar itu malam ini,” kata paman Oman sambil menunjuk sebuah kamar di sebelah ruang makan.

“Paman, kotak ini boleh saya bawa,” izin Eva pada paman Oman.

“Ya.”

Di kamar tidur, Eva melihat-lihat permukaan kotak yang dijadikan petunjuk untuk mengetahui siapa pemiliknya. Itulah Eva, anak yang menganggap dirinya sebagai detektif. Dia memang jenius dan tidak berputus asa dalam mengungkap sebuah kasus. Tidak ada kata menyerah dalam pikirannya.

“Aneh, mengapa kotak ini tidak bisa dibuka?” tanyanya dalam hati.

“Bagi orang lain, ini hanyalah kotak biasa. Penguncinya saja tidak ada. Pengunci. Oh, ya. Mungkin penguncinya tidak menggunakan kunci biasa, kunci pada umumnya tapi ... huahh.”

Eva mulai menguap, mengantuk, dan akhirnya tertidur.

Pagi-pagi sekali Eva bangun, dia masih penasaran dengan kotak itu.

“Apa, ya, penguncinya?”

Eva berpikir keras sambil melihat seluruh permukaan kotak itu. Tiba-tiba, tangan Eva menyentuh sesuatu.

“Apa ini? Ada lubang di samping kanan kotak ini. Ini bukan lubang kunci. Tetapi, lubang apa?”

Satu petunjuk sudah ditemukan. Dia berpikir lagi untuk menemukan petunjuk-petunjuk lainnya.

“Lubang ini seperti ....” Eva mengingat-ingat sesuatu yang pernah dilihatnya.

“Oh, ya. Aku tahu. Lubang ini seperti liontin pada kalung yang dipakai Acha. Bentuknya sama dengan lubang itu.”

“Teman-teman, aku menemukannya,” teriak Eva. Hampir seisi rumah mendengar teriakan Eva.

“Ada apa, Eva?” tanya paman Oman.

“Saya menemukan siapa pemilik kotak itu, Paman.”

“Siapa pemiliknya?” tanya Ita penasaran.

“Acha,” jawab Eva.

“Mengapa kamu berpikir bahwa aku pemilik kotak itu?” tanya Acha pada Eva.

“Lihat kalung yang kamu pakai. Bentuk liontinnya sama dengan bentuk lubang ini,” jawab Eva sambil menunjuk lubang pada kotak itu.

“Ya, sama, Cha. Coba kamu masukkan liontinmu ke dalam lubang itu.” Feni meminta Acha untuk mencoba membuka kotak itu.  

Lalu ... kotak itu terbuka dengan sendirinya. Kejadian itu mengejutkan semua yang berada di sana.

“Hebat,” kata Devi tidak percaya dengan apa yang dilihatnya itu.

“Luar biasa,” tambah Ita.

“Ada sebuah buku didalamnya,” kata Eva sambil menunjukkan buku yang diambilnya dari kotak itu.

“Apa isi buku itu?” tanya Feni.

“Semacam catatan harian,” jawab Eva. “Ini milik dr Irawan.”

“Itu adalah nama kakekku. Jadi, kamu adalah cucu paman Irawan, saudara laki-laki ayahku. Akhirnya, aku menemukan keturunan paman Irawan setelah sekian lama mencarinya,” kata paman Oman.

“Ibu pernah mengatakan bahwa kalung ini akan mempertemukan aku dengan keluarga ibuku yang telah lama berpisah,” tambah Acha. 

Mereka pun berpelukan dan meneteskan air mata bahagia.

“Kotak ini adalah kotak ajaib,” kata Eva.

“Kotak ini telah menjadi perantara pertemuan keluarga yang terpisahkan,” tambah Devi.