19 November 2019

Kotak Ajaib Pembuka Rahasia


Matahari bersinar cerah, secerah hati Ita, Feni, Devi, Eva dan Acha. Mereka telah siap untuk melakukan perjalanan pagi ini. Rencana berlibur ke desa akan terwujud. Hari ini mereka pergi ke rumah paman Ahmad, pamannya Ita yang tingggal di desa.

“Hari ini cerah sekali. Aku tidak mau tidur dalam perjalanan. Aku ingin melihat pohon-pohon di sepanjang jalan,” kata Acha sambil memainkan liontin pada kalungnya.

“Apa semuanya sudah siap?” tanya pak Yanto.

“Siap,” jawab anak-anak itu serempak, mirip pasukan Tentara Nasional Indonesia.

“Ayo, teman-teman, kita masuk ke mobil!” ajak Ita.

Canda dan tawa kelima anak itu membuat perjalanan selama 3 jam tidak terasa.

“Wah, udaranya sangat sejuk,” ucap Devi sambil menghirup udara dalam-dalam, merasakan kesejukan udara di desa.

“Pemandangannya juga keren,” timpal Feni sambil sesekali memotret.

“Anak-anak, kita sudah sampai di desa paman Ahmad,” kata pak Yanto sambil mematikan mesin mobil.

“Kalian baik-baik, ya, di sini dan hati-hati. Ingat pesan bapak....”

“Manfaatkan waktu untuk mencari ilmu,” sahut kelima anak-anak itu serempak. Mereka sudah hafal pesan pak Yanto, sopir yang setia menemani mereka setiap kali berlibur.

Paman Ahmad menyambut kedatangan anak-anak itu dengan ramah.

“Selamat datang di desa paman. Semoga kalian betah berada di sini,” sambut paman Ahmad.

“Terima kasih, Paman. Ita diizinkan berlibur bersama teman-teman di sini.”

“Pak Ahmad, saya pulang dulu dan titip anak-anak,” pamit pak Yanto sambil berjabat tangan dengan paman Ahmad. Pak Yanto kembali ke mobil.

Anak-anak dan paman Ahmad melambaikan tangan ke arah mobil yang berjalan meninggalkan desa. Lalu pak Ahmad mengajak kelima anak itu memasuki rumah yang terlihat sederhana dan jauh dari kesan mewah.

Malam harinya, Ita, Feni, Devi, Eva, dan Acha pergi ke rumah paman Oman. Beliau adalah tetangga paman Ahmad yang suka bercerita. Malam ini, beliau menceritakan tentang pengalamannya ketika masih kecil. Paman Oman tumbuh dan besar bersama kakeknya yang bekerja sebagai dokter. Ketika beliau berumur 10 tahun, kakeknya menitipkan sebuah kotak.

“Man, ini ada kotak. Kamu simpan baik-baik dan kasihkan kotak ini pada pemiliknya. Kotak ini dapat dibuka oleh pemiliknya saja.”

“Ya, Kek. Tapi, siapa pemilik kotak ini, Kek?”

Belum sempat memberi tahu paman Oman, kakeknya menghembuskan nafas yang terakhir. Sampai saat ini kotak itu masih tertutup rapat dan tidak seorang pun bisa membuka kotak itu.

“Ini kotaknya,” kata paman Oman sambil menyerahkan sebuah kotak kepada anak-anak.

Kelima anak-anak itu secara bergantian mencoba membukanya. Tetapi, kotak itu tetap tidak bisa dibuka.

 “Ah, kenapa tidak bisa dibuka. Padahal aku ingin tahu isi kotak itu,” keluh Devi.

Anak-anak itu mulai berpikir keras. Mereka mengamati kotak itu dengan teliti.

“Berhubung sudah larut malam, kalian tidur dulu. Besok kita pikirkan lagi, cara membuka kotak itu.”

“Kalian bisa menggunakan kamar itu malam ini,” kata paman Oman sambil menunjuk sebuah kamar di sebelah ruang makan.

“Paman, kotak ini boleh saya bawa,” izin Eva pada paman Oman.

“Ya.”

Di kamar tidur, Eva melihat-lihat permukaan kotak yang dijadikan petunjuk untuk mengetahui siapa pemiliknya. Itulah Eva, anak yang menganggap dirinya sebagai detektif. Dia memang jenius dan tidak berputus asa dalam mengungkap sebuah kasus. Tidak ada kata menyerah dalam pikirannya.

“Aneh, mengapa kotak ini tidak bisa dibuka?” tanyanya dalam hati.

“Bagi orang lain, ini hanyalah kotak biasa. Penguncinya saja tidak ada. Pengunci. Oh, ya. Mungkin penguncinya tidak menggunakan kunci biasa, kunci pada umumnya tapi ... huahh.”

Eva mulai menguap, mengantuk, dan akhirnya tertidur.

Pagi-pagi sekali Eva bangun, dia masih penasaran dengan kotak itu.

“Apa, ya, penguncinya?”

Eva berpikir keras sambil melihat seluruh permukaan kotak itu. Tiba-tiba, tangan Eva menyentuh sesuatu.

“Apa ini? Ada lubang di samping kanan kotak ini. Ini bukan lubang kunci. Tetapi, lubang apa?”

Satu petunjuk sudah ditemukan. Dia berpikir lagi untuk menemukan petunjuk-petunjuk lainnya.

“Lubang ini seperti ....” Eva mengingat-ingat sesuatu yang pernah dilihatnya.

“Oh, ya. Aku tahu. Lubang ini seperti liontin pada kalung yang dipakai Acha. Bentuknya sama dengan lubang itu.”

“Teman-teman, aku menemukannya,” teriak Eva. Hampir seisi rumah mendengar teriakan Eva.

“Ada apa, Eva?” tanya paman Oman.

“Saya menemukan siapa pemilik kotak itu, Paman.”

“Siapa pemiliknya?” tanya Ita penasaran.

“Acha,” jawab Eva.

“Mengapa kamu berpikir bahwa aku pemilik kotak itu?” tanya Acha pada Eva.

“Lihat kalung yang kamu pakai. Bentuk liontinnya sama dengan bentuk lubang ini,” jawab Eva sambil menunjuk lubang pada kotak itu.

“Ya, sama, Cha. Coba kamu masukkan liontinmu ke dalam lubang itu.” Feni meminta Acha untuk mencoba membuka kotak itu.  

Lalu ... kotak itu terbuka dengan sendirinya. Kejadian itu mengejutkan semua yang berada di sana.

“Hebat,” kata Devi tidak percaya dengan apa yang dilihatnya itu.

“Luar biasa,” tambah Ita.

“Ada sebuah buku didalamnya,” kata Eva sambil menunjukkan buku yang diambilnya dari kotak itu.

“Apa isi buku itu?” tanya Feni.

“Semacam catatan harian,” jawab Eva. “Ini milik dr Irawan.”

“Itu adalah nama kakekku. Jadi, kamu adalah cucu paman Irawan, saudara laki-laki ayahku. Akhirnya, aku menemukan keturunan paman Irawan setelah sekian lama mencarinya,” kata paman Oman.

“Ibu pernah mengatakan bahwa kalung ini akan mempertemukan aku dengan keluarga ibuku yang telah lama berpisah,” tambah Acha. 

Mereka pun berpelukan dan meneteskan air mata bahagia.

“Kotak ini adalah kotak ajaib,” kata Eva.

“Kotak ini telah menjadi perantara pertemuan keluarga yang terpisahkan,” tambah Devi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar